
MAKASSAR, Rencana pemerintah menikkan tarif penumpang ojek online (Ojol) 8-15 persen bisa memacu efek domino. Bisa memacu inflasi tinggi.
Kenaikan tarif secara signifikan akan dirasakan oleh pelanggan. Tingginya tarif ojol membuat masyarakat mengurangi menggunakan transportasi umum. Jika hal itu terjadi, mitra driver akan sepi penumpang sehingga berpengaruh ke pendapatan mereka. Tarif ojol ini masih mengacu pada keputusan Menteri Perhubungan No. KP.564/2022 dan terbagi menjadi tiga zona, Zona I meliputi sumatera, Jawa (kecuali Jabotabek) dan Bali dengan tarif Rp.1.850-Rp.2.300.- per km. Kemudian Zona II Jakarta, Bogor, Depok, Tangeran dan Bekasi tarifnya Rp.2.600-Rp.2.700.- per km.
Sementara Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua masuk Zona III dengan tarf Rp.2.100.- – Rp.2.600.- per KM. Ketiga zona tersebut belum mengalami perubahan tarif sejak tiga tahun terakhir.
Rencana pemerintah untuk menaikan tarif ojek online (ojol) sebesar 8 hingga 15 persen memicu berbagai respon dari kalangan akademiki hingga pelaku industri.
Ekonom Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar Abdul Muttalib, menilai bahwa wacana kenaikan tarif ini perlu dikaji secara menyeluruh. Tanpa evaluasi terhadap potongan plaform dan jaminan pelindungan bagi pengemudi, kebijakan ini dikhawatirkan justru memperlebar ketimpangan dan menekan biaya beli masyarakat.
‘Tambahan pendapatan Rp.8.000.- hingga Rp.15.000.- perhari bagi pengemudi itu sangat terbatas, apalagi mereka masih harus menanggung biaya operasional seperti bensin, service dan cicilan kendaraan,’ Ujarnya, kemarin.
Ia mengemukakan, saat ini belum saatnya menaikan tarif transportasi. Ia menyebutkan, langkah yang lebih tepat adalah menurunkan potongan komisi dari aplikasi yang mencapai 20 persen. ‘Jika tarif naik yang diuntungkan hanya aplikator,’ tegasnya.
Ia menjelaskan dalam skema yang berlaku saat ini, potongan perusahaan aplikasi bisa mencapai 70 persen untuk layanan tertentu. Alhasil, manfaat dari kenaikan tarif kemungkinan besar akan dirasakan oleh aplikator dibandingkan pengemudi.
‘Dampak lain yang tak kalah penting adalah respon konsumen. Saya mengutip data dari RISED yang menunjukkan bahwa batas toleransi kenaikan ojol hanya sekitar 5 persen’, tuturnya.
Jika tarif naik lebih dari itu, konsumen cenderung akan meninggalkan ojol dan beralih ke kendaraan pribadi. ‘Misalnya jika tarif Rp.2.000.- perperjalanan, sekitar 25 persen konsumen akan meninggalkan ojol. Dan jika kenaikannya mencapai Rp.4.000.- potensi kehilangan pelanggan bisa mencapai 72 persesn,’ tegasnya.
Fenomena ini dapat menyebabkan penurunan pendapatan pengemudi, serta meningkatkan kemacetan dan emisi karbon karena konsumen beralih menggunakan kendaraan pribadi.
Sementara itu, perusahaan aplikator justru dinilai diuntungkan dari kebijakan ini. Meskipun permintaan bisa menurun, potongan komisi tetap berjalan dan membuat pendapatan perusahaan relatif stabil. ‘Yang rugi itu pengemudi dan konsumen. Aplikator bisa tatap untung karena mereka mengambil komisi dari tarif yang naik, tanpa harus mengubah struktur operasionalnya,’ tambahnya.
Kenaikan tarif ojol ini juga diperkirakan memberi tekanan terhadap ekonomi makro. Biaya transportasi yang meningkat dapat memicu inflasi di sektro jasa dan menurunkan daya beli masyarakat. Jika permintaan terhadap layanan ojol menurun drastis, potensi pengangguran baru di sektor informasi berbasis platform digital juga sangat mungkin terjadi.
Menurut Muttalib, solusi dari permasalahan ini bukan sekedar menaikkan tarif, tetapi juga melakukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem pembagian pendapatan dan potongan komisi. Ia juga menekankan pentingnya perlindungan kerja bagi pengemudi.
‘Pemerintah harus hati-hati. Kenaikan tarif tenpa perbaikan sistem hanya akan memperbesar ketidakadilan’, ujarnya.
Ia merekomendasikan tiga hal; pertama, evaluasi regulatif terhadap potongan komisi platform; kedua, penyediaan perlindungan sosial dan jaminan kerja bagi pengemudi; dan ketiga, pelibatan akademisi serta masyarakat sipil dalam penyusunan kebijakan transportasi digital yang adil.
Cief of Publik Affairs Grab Indonesia, Tirza Munusamy, menyatakan pentingnya menjaga keseimbangan agar ekosistem trasportasi digital tetap sehat dan berkelanjutan. Ia menekankan bahwa penyesuaian tarif juga perlu mempertimbangkan daya beli konsumen.’ Kami juga memikirkan risiko menurunnuya permintaan akibat kurangnya daya tarikn harga layanan’, ucapnya.
Tirza menambahkan bahwa pihaknya berkomitmen untuk melibatkan suara mitra pengemudi dalam siap keputusan kebijakan. ‘Grab secara rutin menggelar Forum Diskusi Mitra (Fordim) di berbagai kota sebagai ruang untuk mendengarkan keluhan dan saran dari para mitra di lapangan.’ Ucapnya.
Government Relation Specialist Maxim Indonesia, Muhammad Rafi Assegaf, meminta Kemenhub mengkaji ulang rencana tersebut. Ia meminta pemerintah melibatkan segenap stakeholder ojol, termasuk perusahaan layanan transportasi berbasis aplikasi dan konsumen. Rafi menyebut kenaikan tarif perjalanan memicu resiko kontraproduktif terhadap pertumbuhan ekosistem digital.
‘Kenaikan tarif akan membuat masyarakat mengurangi pemesanan perjalanan dan membuat beberapa pengguna cenderung tidak memesan layanan e-hailing untuk jarak dekat,’ ucap Rafi dalam keterangannya.
Sumber : Dimuat di Harian Surat Kabar Cetak Fajar, Kamis, 3 Juli 2025.
Gambar : Ilustrasi